Iklan

.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Benny Arnas

Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Puisi-puisinya tersebar di Lampung Post, Riau Pos, Koran Tempo, dan sejumlah antologi bersama. Puisinya Perempuan yang Dihamili oleh Angin meraih Juara III Krakatau Award 2009.












Benny arnas, siapa yang tidak mengenal sosoknya ini? Mungkin beberapa dari kalian tidak mengenalnya, karena mungkin ketidaktahuaan informasi tentang penulis yang satu ini atau karena kebanyakan kalian hanya penikmat karya-karya pop yang menjamur di pasaran saat ini . Padahal endingnya pun bisa di tebak sangking dangkalnya narasi dalam karya itu. Ya, dia adalah pengarang muda dari paling banyak mendapatkan penghargaan.

Karya-karyanya banyak mengobrak-abrik Koran besar di Indonesia, sepanjang tahun 2009-2010. Kesemuaanya merupakan kumpulan cerpen dari buku “Bulan Celurit Api” sebut saja; Dua Beranak Temurun dikoran Kompas, Tukang Cerita di Republika, Hari Matinya Ketip Isa di Tempo, Surat Sajak Yang Mengantarmu Pulang di Jurnal nasional dan Bulan Celurit Api, sendiri di Suara Merdeka.

Benny Arnas juga di sebut-sebut pengusung sastra kampung halaman. Yaitu sastra yang lahir berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari pengarangnya. Karya yang membawa unsur lokal dari daerah tempat dimana pengarang lahir dan tumbuh besar, yang dieksploitasi secara cerdas dan oportunitis oleh penulis. Karyanya begitu syarat dengan kritik sosial budaya, di Lubuk Linggau.

Salah satu karya yang saya bahas disini adalah kumpulan cerpenya yang berjudul “Bulan Celurit Api” yang banyak mendapat penghargaan. Penghargaan dari Balai Bahasa maupun Pena Awards.

Membaca cerpen ini, mungkin butuh waktu yang cukup lama untuk mengerti apa jalur ceritanya dan mengulang-ulang beberapa kali membaca teks keseluruhan. Jujur, hanya sedikit yang dapat aku pahami dari bahasanya, karna kebanyakan menggunakan bahasa lokal dan melayu. Bisa didapati ketika para tokoh berdialog maupun bahasa pengarang sebagai pengamat.

Membaca karya Benny Arnas ini, seperti membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka. Seperti karya-karya Abdoel moes(salah asuhan), Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma) atau seperti halnya membaca hikayat-hikayat jaman dulu.

Jangan heran ketika membaca cerpen ini maupun karya-karya Benny Arnas lainya, tidak akan mendapati cerita bagaimana seorang remaja ketika jatuh cinta, atau bagaimana seorang cewek sedang naksir cowok ganteng yang padahal kakak seniornya atau kesedihan ditinggal sahabat dekat dan cerita remaja lainya. Karena kebanyakan ceritanya ber-genre fiksi dewasa.

Tidak ada salahnya kita menikmati karya yang satu ini, setelah kita merasa bosan dengan karya-karya yang itu-itu terus. Kebanyakan jakarta sentris lengkap dengan logat “lue-gue” dengan narasi-narasi dangkal. Tidak semua tapi sebagian besar. Memang, kenyataan ini tidak bisa disalahkan sebab karya-karya semacam itu lahir karena tuntunan pasar. Karya ini merupakan karya unik, jarang diera ini ada yang nulis cerita dengan menggunakan bahasa lokal dan logat melayu yang di angkat dari lokalitas.

Cerpen ini memuat kritikan yang sangat pedas terhadap sosial budaya yang mulai tergeser nilai-nilainya dengan budaya asing. Contoh pada kutipan berikut:

Dan… ketika malam meninggi, entah apakah karena usia yang melamurkan telinga dan mata, atau memang ia harus sadar bahwa dunia bukan lagi sangkarnya, apa-apa yang dipidatokan Haji Makmun dengan setengah berteriak itu tiada dimengertinya. Pun mereka yang makan minum sambil berdiri itu, dan… Ya Rahman, joged-jogedan di atas panggung tarup orkes….
“Ayo… lanjut! ‘Kucing garong’!!!”

Mak Muna sebagai tokoh utama, disini Mak Muna sedang di undang oleh Haji Makmun sebagai pencalonan kepala desa. Membayangkan akan ada acara anak-anak memainkan sandiwara Dul Muluk atau pasangan muda-mudi menggayung sambut pantun adat. Taetapi sayang, yang terjadi malah orkes dangdut yang memainkan lagu “kucing garong”. Haji Makmun sendiri yang menyuruh. Haji?? Ya Haji, calon kepala desa pula.

Tetapi lebih geli lagi dengan kritikan dalam kutipan berikut ini:

Mak Muna salah lagi. Benar-benar tak paham ia. Walaupun hampir tak pernah ikut berkumpul dengan anak-menantu-cucunya berhahak-hihik atau bersedu-sedan atau… ya berjoged-joged di depan televisi, tapi… apanya yang bagus-bagus, bila cucunya yang bernama aneh-aneh itu —Alberto, Isabela, dan… uuuh, Mak Muna sendiri susah mengingatnya— susah sekali diajak sembahyang. Ah, induk-induknya pun tak sembahyang!

Tak perlu saya jelaskan lebih rinci lagi, bagaimana penulis mengkritik sosial budaya orang Lubuk Linggau. Semogga kritikan sederhana ini dapat memberikan sedikit informasi kepada pembaca khususnya penikmat sastra. Sastra Remaja maupun dewasa. (pen. Joni Jaka)




1 komentar:

Ummi Zaki mengatakan...

Karya Benny is......amazing.

Posting Komentar

Guru Tulis





Followers